Senin, 18 Mei 2009

Pengolahan Air dan Sanitasi

Hampir tiap orang mengetahui `masalah air'. Tapi hampir tak seorangpun di luar sektor itu yang tahu bahwa ada masalah sanitasi yang sama seriusnya dengan masalah air yang telah mendapat publikasi lebih baik. Padahal, terdapat hubungan yang erat antara masalah sanitasi dan penyediaan air.

* Kesehatan. Semua penyakit yang berhubungan dengan air sebenarnya berkaitan dengan pengumpulan dan pembuangan limbah manusia yang tidak benar. Itulah sebabnya estimasi pengurangan penyakit di tabel 2 menunjuk ke penyediaan air dan sanitasi. Memperbaiki yang satu tanpa memperhatikan yang lainnya sangatlah tidak efektif.

* Penggunaan air. Toilet siram desain lama membutuhkan 19 liter air dan bisa memakan hingga 40% dari penggunaan air untuk kebutuhan rumah tangga. Dengan jumlah penggunaan 190 liter air per kepala per hari, mengganti toilet ini dengan unit baru yang menggunakan hanya 0,7 liter per siraman bisa menghemat 25% dari penggunaan air untuk rumah tangga tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesehatan. Sebaliknya, memasang unit penyiraman yang memakai 19 liter air di sebuah rumah tanpa WC bisa meningkatkan pemakaian air hingga 70%. Jelas, hal ini tidak diharapkan di daerah yang penyediaan airnya tidak mencukupi, dan hal tersebut juga bisa menambah jumlah limbah yang akhirnya harus dibuang dengan benar.

* Biaya dan pemulihan biaya. Biaya pengumpulan, pengolahan dan pembuangan limbah meningkat dengan cepat begitu konsumsi meningkat. Merencanakan hanya satu sisi penyediaan air tanpa memperhitungkan biaya sanitasi akan menyebabkan kota berhadapan dengan masalah lingkungan dan biaya tinggi yang tak terantisipasi.
Pada tahun 1980, Bank Dunia melaporkan bahwa dengan menggunakan praktek-praktek konvesional, untuk membuang air dibutuhkan biaya lima sampai enam kali sebanyak biaya penyediaan. Ini adalah untuk konsumsi sekitar 150 hingga 190 liter air per kepala per hari. Informasi lebih baru dari Indonesia, Jepang, Malaysia dan A. S. menunjukkan bahwa rasio meningkat tajam dengan meningkatnya konsumsi; dari 1,3 berbanding 1 untuk 19 liter per kepala per hari menjadi 7 berbanding 1 untuk konsumsi 190 liter dan 18 berbanding 1 untuk konsumsi 760 liter.
Perlu diperhatikan pula bahwa pungutan untuk saluran pembuangan limbah biasanya jauh lebih rendah dari pada pungutan air, padahal biaya pembuangan limbah lebih tinggi.
Juga, perusahaan-perusahaan air berhasil melakukan kontrol atas tingkatan pungutan dan bisa memberikan sangsi (seperti menghentikan layanan) apabila pungutan tak dibayar. Sementara itu, pungutan pembuangan limbah di banyak negara hanyalah sebagian kecil dari pendapatan umum pajak kota yang tidak hanya terlalu kecil tapi juga tidak ditarik; atau, kalaupun ditarik, dialihkan pada bagian operasi kota lainnya.

* Penggunaan ulang air. Jika sumber daya air tidak mencukupi, air limbah merupakan sumber penyediaan yang menarik, dan akan dipakai baik resmi disetujui atau tidak. Karena itu peningkatan penyediaan air cenderung mengakibatkan peningkataan penggunaan air limbah, diolah atau tidak. Masalah yang harus dipertimbangkan oleh perencana adalah mereka juga harus memperhatikan sumber-sumber daya tersebut supaya penggunaan ulang ini tidak merusak kesehatan masyarakat.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, banyak perhatian telah diberikan pada pembuatan sistem sanitasi yang tahan lama, hemat air, bisa diterima oleh orang-orang yang akan memakainya, dan memungkinkan penggunaan kembali limbah yang telah diolah. Pengembangan sanitasi yang paling penting dalam dekade ini adalah pengesahan bentuk-bentuk sanitasi yang sebelumnya dianggap primitif. Setelah beberapa tahun penelitian terapan dan kemajuan teknologi, kakus luar rumah telah ditransformasi menjadi instalasi sederhana tapi canggih yang memberikan tingkat kenyamanan dan kesehatan yang tinggi. Dua teknologi penting yang berhubungan dengan kakus ini adalah: lubang kakus yang diperbaiki dan diberi ventilasi (Ventilated Improved Pit latrine/VIP latrine) dan toilet siram guyur (Pour Flush Toilet/PF toilet). Dua teknologi ini biayanya jauh lebih sedikit daripada toilet konvensional yang dihubungkan ke tanki septik atau sistem saluran pembuangan. Bank Dunia menunjukkan adanya keuntungan biaya sekitar 15 berbanding 1.

Lubang kakus VIP dan PF memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sistem di tempat ("on-site system") yang tradisional dan sistem saluran pembuangan konvensional. Kelebihan-kelebihan itu adalah:

* Lubang kakus VIP dan toilet PF sederhana, bisa diandalkan, higienis dan terjangkau biayanya.
* Bisa dibangun dengan bahan-bahan lokal dan hanya membutuhkan sedikit keahlian teknis untuk perancangannya, dan bisa dibangun sendiri oleh individu atau masyarakat hanya dengan bantuan secukupnya saja dari luar.
* Membutuhkan sedikit ruang sehingga cocok untuk daerah yang penuh sesak.
* Tetap bisa beroperasi meskipun air langka. Untuk beroperasi VIP tidak membutuhkan air, sedangkan toilet PF hanya butuh dua liter air per siraman (plus air yang digunakan untuk membersihkan badan) dan air inipun bisa didapatkan dari air buangan (bekas untuk mandi, mencuci dan semacamnya).
* Pengolahan kotoran yang rumit tidak dibutuhkan. Jika ada lubang-lubang kakus yang bisa digilir pemakaiannya maka lubang-lubang kakus ini memungkinkan pengolahan kotoran di tempat itu juga dan pemulihan unsur hara yang aman untuk tanah.
* Bisa diubah menjadi sistem yang lebih canggih.
* Yang lebih penting lagi, teknologi ini sangat disukai oleh orang-orang yang memakainya.

Begitu konsumsi air dan kepadatan penduduk meningkat, sistem 'on-site' tidak lagi bisa mengatasi volume limbah kotoran yang makin banyak. Salah satu pemecahan tradisional masalah itu ialah penggunaan tanki septik untuk mengolah limbah sebelum limbah kotoran itu dibuang ke resapan bawah tanah. Tetapi cara ini mahal dan mudah gagal. Resapan akan buntu jika muatannya luber, seperti yang sering terjadi karena tanki tidak dikosongkan dengan benar. Sebagai akibatnya, luapan yang terolah dengan buruk dibuang secara melanggar hukum ke selokan-selokan di pinggir jalan atau menjadi genangan-genangan di permukaan.
Jalan keluarnya ialah dengan menggunakan saluran pembuangan bebas limbah padat (solids-free sewarage/SFS) yang awalnya dikembangkan di A.S. dan Australia dan sekarang menyebar ke negara-negara berkembang. Sistem ini menggunakan jaringan pipa kecil (seringkali dari plastik) yang dipasang untuk membawa luapan dari tanki septik ke suatu tempat kemudian dibuang ke saluran pembuangan utama atau ke instalasi pengolahan. Selain mengumpulkan luapan tanki septik, SFS bisa digunakan di instalasi-instalasi baru asalkan ada tanki antara sederhana yang memungkinkan pengolahan awal.
Brazil adalah salah satu negara yang memelopori pengembangan sistem pembuangan kotoran yang murah. Proyek perintisnya menggunakan "sistem pembuangan kotoran yang disederhanakan" (simplified sewerage) yang merupakan adaptasi dari sistem pembuangan konvensional dengan menggunakan kriteria yang mencerminkan kemajuan pengetahuan sekarang dan tersedianya bahan. Dengan cara ini biaya bisa dihemat hinga 40% sampai 50%. Desain ini memungkinkan lebih sedikit lubang got, waktu merancang yang lebih pendek, dan ukuran-ukuran pipa minimum yang lebih kecil (pipa plastik yang sekarang sudah menggantikan pipa beton atau tanah), serta pipa ditanam lebih dangkal (karena udara dingin bukan masalah di sebagian besar negara berkembang).
Dulu, sistem yang terpusat lebih mendapat perhatian. Tetapi, dengan urbanisasi yang makin cepat, kondisinya menjadi tidak ekonomis untuk mengumpulkan kotoran ke tangki antara yang besar dan membawanya ke suatu pusat untuk diolah. Juga, dengan mengingat kegagalan sistem pengolahan di masa lalu, hal ini bisa menyebabkan bencana lingkungan. Jalan keluar dari masalah ini yang lebih baik adalah dengan membuat instalasi yang tidak terpusat, dan setiap instalasi melayani suatu bagian kota. Dengan cara ini biaya bisa dihemat secara signifikan. Di kota Toledo di negara bagian Parana, Brasilia, diperkirakan bahwa dengan menyediakan 15 instalasi pengolahan dan tidak hanya dua, penghematan bisa mencapai 15%. Instalasi yang tidak terpusat seperti itu juga mampu mengatasi salah satu masalah yang muncul dengan adanya urbanisasi yang tak terkendali saat ini, yaitu: hampir tidak mungkin merancang pemecahan yang memakan lebih sedikit biaya untuk instalasi pengolahan yang terpusat dengan usia desain paling tidak 20 tahun jika para perencana kota tidak bisa menentukan pola penggunaan tanah di kota di masa yang akan datang.
Di banyak negara berkembang, limbah cair sering dibuang tanpa diolah, atau limbah melewati instalasi pengolahan yang cara kerjanya tidak beres sehingga aliran yang keluar dari instalasi tersebut tidak lebih baik daripada limbah mentah. Banyak orang tidak menyadari bahwa seandainyapun pengolahan limbah konvensional yang ada bekerja cukup efektif, aliran yang keluar masih tetap sangat 'patogenis'. Karena aliran itu akan dan seharusnya digunakan lagi untuk penyediaan air atau irigasi, hal ini jelas merupakan masalah yang serius.
Jalan keluar ideal dari masalah ini ialah dengan menggunakan kolam-kolam penyeimbang (stabilisator) untuk pengolahan. Kolam-kolam yang mudah dirawat dan dioperasikan ini memberikan waktu penahanan yang lama sehingga patogen-patogen itu bisa mati secara alami. Dalam kondisi yang sesuai, aliran dari kolam ini atau sistem pengolahan yang lain bisa diberi 'polesan' akhir di tanah-tanah rawa, alami atau buatan. Teknik ini relatif baru, tapi tampaknya akan bertambah penting di masa mendatang.
Masalah utama dengan kolam penyeimbang adalah dibutuhkan tanah luas yang langka di kota-kota besar.
Untuk masalah ini ada tiga jalan keluar. Pertama, membagi kota menjadi sub-sub bagian dan menggunakan sistem pengolahan tak terpusat. Dengan cara ini biaya bisa dihemat. Cara kedua ialah meletakkan kolam-kolam ini agak di luar kota. Ketika kota meluas, kolam bisa 'didaurulang' untuk pengembangan kota, dan limbah cair yang masuk dipompa ke dalam kolam baru yang letaknya lebih luar lagi. Cara ketiga ialah mengadopsi cara pengolahan limbah yang sedikit berbeda. Jika kolam penyeimbang dipakai untuk menumbuhkan gulma rumput bebek (lemna), maka kolam ini nanti bisa digunakan untuk berternak ikan; atau jika rumput bebek itu dikeringkan bisa menjadi makanan ikan dan unggas. Cara ini mengubah limbah yang sebelumnya merupakan masalah kota yang memakan banyak biaya menjadi sumber protein yang menghasilkan pemasukan uang. Produktivitas kolam ini begitu tinggi sehingga bentuk budidaya air ini mungkin secara ekonomi akan sangat menarik kecuali sampai tanah itu hampir habis termakan pengembangan kota.
Bentuk pengolahan limbah kotoran yang menggunakan rumput bebek atau tanaman lain seperti bunga bakung air sebenarnya secara informal telah ada selama bertahun-tahun. Namun sekarang cara ini dikembangkan sebagai alat yang lebih resmi dan sistematis untuk memecahkan kebutuhan daerah perkotaan. Di Calcutta misalnya, suatu sistem budidaya air dengan pakan limbah cair sekarang bisa menghasilkan 20 ton ikan segar setiap hari untuk dijual di kota itu. Suatu sistem rumput bebek di Bangladesh yang mengolah limbah cair dari 3.000 orang membutuhkan biaya operasi kurang dari 200 taka per hari. Rumput bebek yang dipanen (0.5 ton basah per hari) dan diolah sebagai makanan unggas bernilai sekitar 500 taka per hari; kalau digunakan untuk beternak ikan malah bisa menjadi 3. 500 taka per hari. Ini mungkin merupakan satu-satunya instalasi pengolahan limbah berkesinambungan di dunia yang menghasilkan keuntungan dari operasinya. picked from US Embasy

1 komentar:

  1. Itulah sebabnya estimasi pengurangan penyakit di tabel 2 menunjuk...
    == tabel 2 yg mana atu

    BalasHapus